Dukungan BEM-SI (1)

LIBERALISASI LISTRIK: PENYELEWENGAN NEGARA TERHADAP KONSTITUSI


Pendahuluan

Pada tahun 2002 pemerintah mengeluarkan UU No. 20/ 2002 Tentang Ketenagalistrikan. UU tersebut menggantikan UU yang berlaku sebelumnya yaitu UU No. 15/ 1985. Inti dari UU No. 20/ 2002 adalah privatisasi (liberalisasi) usaha di sektor ketenagalistrikan. Tetapi kemudian, Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan UU tersebut karena dianggap bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945 pasal 33). Namun demikian, pemerintah bersikeras dengan idenya tersebut. Pada tahun 2006 pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang tentang Ketenagalistrikan yang baru (RUUK 2006) yang idenya tidak berbeda jauh dengan UU NO. 20/ 2002 yang dibatalkan.


Selama ini pemerintah menanggung beban yang cukup besar untuk menyubsidi listrik, tahun lalu mencapai 38 triliun rupiah (TEMPO, Desember 2006). Hal ini selain diakibatkan oleh tujuan subsidi itu sendiri, yaitu agar harga listrik terjangkau oleh seluruh masyarakat walaupun sebenarnya harga produksi per kWh di atas harga jualnya, juga diakibatkan oleh PLN yang alih-alih memberikan deviden malah mengalami kerugian setiap tahunnya yaitu Rp 4,9 triliun pada 2005 dan Rp 1,2 triliun pada 2006 (Kompas, 19 Februari 2070). Selain itu, rasio elektrifikasi masih kurang dari 60 persen menjadi kendala bagi percepatan pembangunan khususnya di daerah-daerah yang jauh dari jangkauan.


Namun di lain pihak, pemerintah merasa tidak mampu mengatasi semua itu sendirian. Seperti yang dikutip dalam Putusan Perkara MK tentang UU No. 20/ 2002, bahwa pemerintah tidak punya cukup dana dalam pembangunan sektor kelistrikan. Selain itu pemerintah berkeinginan agar penyediaan tenaga listrik berlangsung dengan lebih transparan dan efisien. Karena selama ini inefisiensi terjadi tidak hanya di pengguna (masyarakat) yang bersikap boros, tetapi juga terjadi di pihak penyedia (PLN).


Konsep yang pemerintah tawarkan adalah bagaimana menggenjot penyediaan tenaga listrik yang memadai, mencukupi, dengan harga yang wajar, serta di lain pihak pemerintah tidak dibebani beban yang terlalu besar dari sektor ini. Pemerintah ingin melakukannya dengan jalan memberi kesempatan partisipasi pihak non-pemerintah (swasta) dalam usaha penyediaan tenaga listrik. Dengan demikian diharapkan tercipta efisiensi dan kompetisi yang sehat yang menguntungkan semua pihak. Secara lebih jelas hal tersebut disampaikan pada Pasal 16, 17 ayat (3), dan 68 UU No. 20/ 2002. Pada RUUK 2006 hal itu dijelaskan pada Pasal 8, 10, 11. Inti konsep keduanya sama yaitu unbundling. Yaitu usaha peyediaan tenaga listrik tidak lagi dipandang sebagai satu bagian yang utuh yang dikelola dan dikuasai pemerintah, namun dibagi berdasarkan proses produksinya; pembangkitan, transmisi, distribusi, penjualan, pengelola pasar, dan pengelola sistem (pasal 8 ayat (2) RUUK 2006). Setiap jenis usaha tersebut dapat dimiliki oleh pihak non pemerintah; BUMD, swasta, swadaya masyarakat (pasal 10 ayat (3) RUUK 2006). Pada daerah yang memungkinkan secara teknis dan ekonomis usaha pembangkitan dan agen penjualan tenaga listrik dikompetisikan (pasal 11 ayat (1) RUUK 2006). Sehingga kemudian PLN menjadi setara dengan pihak lainnya yaitu harus memiliki izin usaha seperti yang lain (pasal 47 RUUK 2006). Pemerintah sendiri berperan hanya sebatas wasit yang tentu otoritasnya menjadi lebih lemah. Peran itu selayaknya akan dimainkan oleh BAPETAL (Badan Pengawas Pasar Tenaga Listrik) seandainya UU No. 20/ 2002 tetap disahkan..


Isi

Belajar dari Pembatalan UU No. 20/ 2002

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan UU No. 20/ 2002 pada tahun 2004 setelah menerima permohonan gugatan (pembatalan) dari beberapa pihak. MK memutuskan untuk membatalkan undang-undang tersebut karena pasal-pasal mengenai unbundling dan kompetisi yang merupakan “jantung” undang-undang tersebut tidak sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Berikut beberapa pertimbangan MK dalam keputusan tersebut (dikutip dari PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI PERKARA NOMOR 001-021-022/PUU-I/2003):

  • Bahwa listrik adalah seperti yang dimaksudkan dalam UUD 1945 pasal 33 ayat (2); cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara. Sehingga dalam hal ini pemerintahlah (melalui BUMN) yang semestinya memiliki dan menguasai usaha ketenagalistrikan. Baik berupa kepemilikan saham mayoritas mutlak (di atas 50 persen) maupun mayoritas relatif yang masih bisa menjadi penentu kebijakan.
  • Listrik sebagai public utilities tidak bisa diserahkan kepada mekanisme pasar. Jika itu terjadi maka yang diuntungkan hanyalah pihak tertentu (pengusaha kuat) yang memiliki modal kuat berdasarkan prinsip supply and demand dengan orientasi profit.
  • Pasar listrik yang sudah terbentuk (dapat dikompetisikan) hanya terdapat di JAMALI (Jawa, Madura, Bali), artinya rakyat di luar JAMALI akan makin sulit dalam mendapatkan listrik karena tentunya pengusaha hanya mau menanamkan modalnya dipasar yang potensial. Sehingga kelistrikan di luar JAMALI akan dibebankan kepada pemerintah dan pemda, yang notabene selama ini kelistrikan di luar JAMALI memberi kontribusi sangat besar bagi kerugian yang dialami pemerintah (PLN). Artinya beban pemerintah dan pemda makin besar karena subsidi silang JAMALI-luar JAMALI menjadi hilang. Dapat diprediksikan percepatan elektrifikasi yang pemerintah harapkan dari UUNo. 20/ 2002 ini makin jauh dari kenyataan.
  • Unbundling akan membuat BUMN makin terpuruk yang bermuara pada tidak terjaminnya pasokan listrik pada semua lapisan masyarakat. Pengalaman empiris di Eropa, Amerika Latin, Korea, dan Meksiko memperlihatkan unbundling tidak efisien dan menjadi beban berat bagi negara.
  • Inefisiensi di BUMN yang timbul karena miss-management dan praktik KKN yang menggurita bukanlah alasan untuk mengabaikan Pasal 33 UUD 1945. Seperti pepatah “buruk muka cermin dibelah”. Pembenahan yang dilakukan haruslah memperkuat penguasaan negara pada cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak.


Menjawab Masalah Yang Dihadapi

Seperti yang ditulis di atas bahwa alasan pemerintah mengajukan konsep ini yaitu agar kebutuhan listrik semua masyarakat terpenuhi. Di sisi lain saat ini pemerintah (APBN) dibebani dengan berat oleh subsidi listrik. Apalagi jika harus menambah dana percepatan pembangunan tenaga listrik. Maka menurut pemerintah, efisiensi dan kompetisi adalah kuncinya. Karena pengelolaan listrik selama ini dilakukan secara tidak efisien dan secara monopoli. Agar modal serta teknologi bisa dipenuhi secara cepat, liberalisasi adalah jalannya agar semua pihak (pemodal) berlomba-lomba membangun usaha ketenagalistrikan. Dan dengan persaingan maka efisiensi dan pertumbuhan terjadi. Prasyaratnya adalah hilangkan monopoli pemerintah (PLN). Sehingga pemerintah hanya menjadi sebatas pengawas saja.


Yang harus kita cermati dari masalah ini yaitu, pertama, paradigma kita mengenai listrik yaitu bahwa listrik adalah public utilities (kebutuhan masyarakat luas) bukan komoditas pasar. Negeri kita adalah welfare state yang salah satu tujuan utamanya adalah menyejahterakan rakyat. Seperti yang dijelaskan dalam Pasal 33 UUD 1945; cabang produksi yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara, serta bumi, air, dan kekayaan alam yang terdapat di dalamnya dikuasai oleh negara dan didunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat. Dengan paradigma ini, maka listrik, air, energi, serta public utilities lainnya semestinya disediakan oleh negara dan tersebar merata serta terjangkau oleh masyarakat paling miskin sekali pun. Artinya subsidi listrik sejatinya adalah konsekuensi dari kewajiban pemerintah kepada rakyat, apabila harga tanpa subsidi tidak bisa terjangakau oleh semua lapisan masyarakat.


Kedua, dalam rangka mewujudkan perannya seperti di atas, maka pemerintah harus memiliki kemauan untuk mandiri. Mengutip pernyataan Mohammad Hatta sebagai salah satu pendiri negara (founding fathers) menyatakan tentang pengertian dikuasai oleh negara sebagai berikut, “Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman luar negeri. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanamkan modalnya di Indonesia dengan syarat yang ditentukan Pemerintah … Cara begitulah dahulu kita memikirkan betapa melaksanakan pembangunan ekonomi dengan dasar Pasal 33 UUD 1945 … Apabila tenaga nasional dan kapital nasional tidak mencukupi, pinjam tenaga asing dan kapital asing untuk melancarkan produksi. Apabila bangsa asing tidak bersedia meminjamkan kapitalnya maka diberikan kesempatan kepada mereka untuk menanamkan modalnya di tanah air kita dengan syarat-syarat yang ditentukan oleh Pemerintah Indonesia sendiri. (Mohammad Hatta, Kumpulan Pidato II Hal. 231. Disusun oleh I. Wangsa Widjaja, Mutia F. Swasono, PT. Toko Gunung Agung Tbk. Jakarta 2002). Jadi bukan lantas membiarkan pihak swasta (asing) yang melakukannya dengan melakukan liberalisasi apabila kita memang belum mampu.


Ketiga, mempersiapkan langkah taktis untuk menyelesaikan masalah di depan mata. Masalah yang perlu dijawab segera adalah bagaimana menghemat subsidi listrik yang dirasakan sangat membebani pemerintah dan kondisi PLN yang sering merugi. Dari data yang kami peroleh dari pihak SP PLN bahwa sebetulnya yang menjadi beban terbesar bagi keuangan PLN adalah biaya operasional yang sangat tinggi untuk pembangkit yang menggunakan BBM. Apabila PLTU/ PLTG/ PLTGU di Jawa yang memproduksi 6928 MW, yang selama ini menggunakan BBM beralih ke gas maka PLN bisa menghemat hingga sekitar 23 triliun rupiah. Biaya pokok produksi apabila diopeasikan dengan BBM jenis HSD (untuk PLTG/ PLTGU) adalah Rp.1.222 - Rp.1.560/ kWh, jika digunakan jenis MFO (untuk PLTU) biayanya kurang lebih Rp.1.000/ kWh. Sedangkan apabila dioperasikan dengan gas biaya produksinya cukup Rp.192 – Rp.246/ kWh. Masalahnya adalah PLN tidak mendapat pasokan gas untuk memenuhi kebutuhan operasionalnya sehingga sebagian besar pembangkit tadi menggunakan BBM.


Pertanyaannya kemudian adalah kemana larinya gas kita. Inilah akibat dari ditetapkannya UU Migas No.22/ 2001, yang berakibat migas kita banyak yang diekspor oleh perusahaan asing, sedangkan rumah sendiri kekurangan. Maka semestinya pemerintah harus memprioritaskan PLN dalam suplai gas untuk keperluan pembangkitnya. Sedangkan menurut Didik J. Rachbini, anggota DPR-RI, PLN bisa menghemat hingga Rp.10 triliun apabila melakukan langkah-langkah penghematan berupa transformasi sumber energi dari BBM serta menyelesaikan transmisi selatan (Kompas, 12 Februari 2007).


Langkah taktis kedua adalah revitalisasi organisasi PLN untuk meningkatkan efisiensi dan produktivitasnya. Yang terjadi selama ini dalam sejarah PLN tidak lain adalah rangkaian KKN, yang memeras sumber daya perusahaan ini. Pembangkit swasta bernuansa KKN dipaksakan masuk ke PLN dengan harga penjualan daya listrik lebih tinggi dari harga PLN, yang dijual kepada masyarakat. Pengadaan mesin yang tidak efisien banyak terjadi di lingkungan PLN. Selain itu, kolusi dan biaya tinggi di masa lalu terwariskan sampai saat ini sehingga tidak mudah memecahkan masalahnya. Hal itu dapat dilihat dari proyek-proyek mark up yang disidik oleh kepolisian dan kejaksaan, yang banyak terjadi mark up sejak dahulu, misalnya kasus Paiton (Sumber: Depkeu).


Jika masyarakat memandang bahwa PLN penuh dengan KKN dan ketidakefisienan, maka kita perlu memahami siapa sebenarnya PLN. PLN sebetulnya hanya merupakan alat negara (operator), artinya akuntabilitas dan kinerja PLN bergantung kepada pemerintah yang berkuasa. Kita semua mengetahui bahwa PLN dibesarkan di sistem orde baru yang korup. Oleh karena itu, pemerintah harus menunjuk orang yang betul-betul kompeten dan profesional serta memperbaiki aspek struktural maupun kultural tidak hanya PLN, tetapi seluruh BUMN. Agar tidak tejadi lagi kasus korupsi dalam pengadaan barang, pembangunan pembangkit, dan sebagainya seperti kasus yang sedang menimpa Dirut PLN sekarang. Hal ini yang sebetulnya sedang diupayakan pemerintah sekarang, seperti yang disampaikan oleh Menteri Negara BUMN Sugiharto, bahwa diharapkan tahun ini PLN bisa meraih untung hingga Rp.3 triliun (Kompas, 19 Februari 2007).


Keempat, perlu ada rencana strategis yang matang dan jelas dalam pembangunan sektor ketenagalistrikan. Kasus yang terjadi sekarang, di mana ketergantungan PLN pada bahan bakar fosil menunjukan ketidakefektifan dari rencana pembangunan sektor kelistrikan. Pada awal dibangunnya dipilih pembangkit dengan BBM/gas karena dahulu BBM murah dan praktis. Selayaknya sekarang kita tidak mengulangi hal yang sama dengan merencanakan sumber energi yang lebih sustain, terbaharukan/ jumlahnya melimpah, mudah didapatkan di Indonesia, serta ekonomis. Memang diperlukan investasi yang tidak sedikit dengan mendorong riset-riset di pusat-pusat penilitian dan pendidikan. Namun inilah yang harus kita lakukan bila kita tidak ingin tetap menjadi pelayan di negeri sendiri. Solusi strategis kedua yaitu mendorong efisiensi penggunaan listrik melalui edukasi masyarakat. Salah satu akar masalah yang terjadi adalah penggunaan listrik yang boros. Selama ini hal tersebut memang sudah dilakukan tetapi hasilnya masih belum terasa. Perlu direncanakan pendekatan yang lebih baik dalam upaya ini. Semacam kampanye masif program KB yang cukup berhasil di masa lalu. Walaupun sebetulnya hal ini berakar pada pembangunan mentalitas dan karakter kita yang masih belum dilakukan dengan baik di sektor pendidikan kita.


Ada Apa di Balik Sikap Pemerintah yang Ngotot?

Saat ini rakyat Indonesia nyaris tidak lagi memiliki haknya atas semua kekayaan yang ada di bumi, air, dan udara Indonesia. Setelah sektor migas yang diobral (ke asing) lewat UU Migas No.22/ 2001, kemudian sektor transportasi di mana pelabuhan pun dimiliki asing, begitu pula dengan air yang sudah diliberalisasi, giliran listrik mungkin menjadi korban berikutnya. Patut disayangkan bahwa cita-cita founding fathers kita masih jauh panggang dari api. Begitu pula Pasal 33 UUD 1945 yang mengamanahkan agar semua kekayaan alam negeri ini dipergunakan seoptimal mungkin untuk kepentingan rakyat. Lalu kemanakah perginya gas bumi di Aceh, Natuna, atau tembaga serta emas di Papua? Jika hari ini ternyata jumlah kemiskinan dan pengangguran terus meningkat. Serta alokasi APBN untuk sektor pendidikan dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari optimal.


Tentunya kita jangan melihat masalah ini secara parsial. Karena masalah APBN, privatisasi (liberalisasi), utang luar negeri, rencana pembangunan dan ekonomi, serta kepentingan (tekanan) asing adalah masalah yang terkoneksi erat satu sama lain. Selain itu, sudah menjadi rahasia umum bahwa bantuan (utang) luar negeri tidak gratis. There is no free lunch, begitu kata orang barat. Maka selain bunga, utang luar negeri pun diberikan dengan resep (syarat-syarat) yang mendikte pemerintah. Secara umum resep obat dari IMF, World Bank, ADB, serta donor lainnya yaitu deregulasi, privatisasi, dan pengurangan subsidi sektor kesejahteraan dan pendidikan yang imbasnya adalah pencabutan subsidi BBM. Salah satu dokumen yang kami temukan adalah Letter of Intent antara pemerintah dan IMF, di Chapter 3 point 20 disebutkan:


20. The Government intends to restructure the power sector to improve efficiency and reduce fiscal burden. With the support of the World Bank and AsDB, the government will (i) establish the legal and regulatory framework to create a competitive electricity market; (ii) restructure the organization of PLN; (iii) adjust electricity tariffs; and (iv) rationalize power purchase from private sector power projects.


Walaupun kita telah melunasi pinjaman dari IMF namun jumlah utang luar negeri kita masih besar dari donor lain, yang notabene memiliki persyaratan berupa resep kebijakan tidak jauh seperti di atas. Maka dugaan bahwa kebijakan pemerintah selama ini yang meliberalisasikan aset-aset strategis adalah titpan (tekanan) kepentingan asing bukanlah tuduhan tak berdasar karena faktanya memang demikian. Yang diuntungkan bukanlah rakyat dan melainkan Freeport, Chevron, Caltex, ExxonMobil, dan kaki tangan asing lainnya. Seperti yang disampaikan oleh Wahyudin Munawir, anggota DPR-RI FPKS, bahwa di Aceh pabrik pupuk Iskandar Muda dan Pupuk Asean bangkrut akibat tidak adanya suplai gas, padahal Aceh adalah lumbungnya gas alam. Ini terjadi karena gasnya sudah dibawa kabur (ekspor) oleh Exxon (Republika, Januari 2007). Ini hanyalah contoh kecil dari kerugian yang dialami oleh rakyat Indonesia akibat kebijakan privatisasi aset strategis kita. Seperti yang terjadi pula pada kontak karya Freeport, kontrak pengelolaan Blok Cepu, serta yang terakhir kontrak blok D-Alpha Natuna di mana profit sharing-nya adalah nol persen untuk kita dan seratus persen untuk ExxonMobil.


Penutup

Saatnya kita berani memilih untuk menjadi bangsa yang mandiri. Kita sudah mengikrarkan diri bahwa negara ini didirikan untuk; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum …” dan juga “mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”. Maka hitunglah sekarang, masih seberapa jauh jarak kita dengannya. Jangan hanya bermimpi, bangun, dan melangkahlah sekarang juga. Kita mulai membangun diri kita sebagai bangsa yang mandiri dengan menolak segala bentuk privatisasi (liberalisasi) aset strategis nasional. Memang berat ditinggalkan majikan, namun lebih tragis lagi jika memilih tetap menjadi inlander.

SP-PLN Official Website :

SP-PLN Official Website :
Klik gambar banner untuk masuk ke website resmi SP-PLN